Kode Etik Psikologi vs Bisnis



Akhir-akhir ini kami sedang sibuk mengurusi naskah CPNS dan Psikotes. Menurut kabar yang berhembus, sebentar lagi akan diadakan perekrutan CPNS lagi. Ya sebagai editor buku umum populer, dibela-belain lembur demi deadline. Untungnya ada jatah uang lembur, jadi sedikit agak semangat mengerjakannya. 

Nah, hal yang mau kuceritakan saat ini adalah soal kode etik. Kemarin aku nge-proff naskah psikotes. Namanya saja psikotes, di dalamnya pastilah tes mengukur kepribadian dan kemampuan intelegensi dasar kita. Sampailah pada bab tes gambar. Di situ tertulis ada bermacam-macam tes gambar seperti tes wartegg, tes menggambar orang, dan tes menggambar pohon. Tes wartegg adalah tes melengkapi gambar. Pada dasarnya tes ini hanya pengembangan imajinasi. Ada beberapa kotak yang di dalamnya berisi garis entah itu vertikal, horisontal, miring, atau melengkung, kita hanya diminta untuk mengambar sesukanya, asal pas dengan garis yang tersedia. Ada yang sebenarnya tidak perlu dicantumkan dalam buku tersebut yaitu, penjelasan tentang sifat-sifat kita jika kita menggambar sesuatu pada masing-masing kotak. Menurut kode etik psikologi, hal semacam itu tidak dibenarkan karena nantinya peserta tes tidak akan menjadi dirinya melainkan orang lain (karena sudah belajar). Sesungguhnya ketika akan menjalani tes psikologi semacam itu tidak usah belajar pun pasti akan bisa mengerjakannya. Tes tersebut kan hanya bertujuan untuk mengetahui pribadi kita yang sebenarnya sehingga perusahaan tempat kita melamar, akan tahu kemampuan kita. Aku jadi berfikir, berarti orang yang membeli buku-buku psikotes tidak percaya akan kemampuan dirinya. Mungkin terlalu takut bila tidak lolos, jadi ya solusinya belajar. Padahal, jika tidak menjadi diri sendiri itu, akan menyusahkan ketika sudah diterima bekerja. Dan ternyata aku juga pernah menjadi orang yang tak percaya diri dengan membeli buku psikotes dan TPA hahaha...

Dari hasil obrolan tadi malam dengan adik (jurusan psikologi), hal hal semacam itu sebenarnya bisa dilaporkan. Jika yang menulis buku tersebut mempunyai gelar S.Psi (sarjana psikologi) dan anggota himsi (himpunan psikologi), itu akan dihukum oleh himsi terkait pelanggaran kode etik, tetapi jika yang menulis buku tersebut bukan dari sarjana psikologi bisa jadi kasus pidana kalau ada yang melaporkan ke polisi. Namun, masalahnya hukum mengenai kode etik psikologi itu sendiri amat sangat jarang diterapkan mengingat hal tersebut sudah dijadikan lahan bisnis. Lihat saja di rak-rak toko buku banyak sekali tumpukan buku-buku sukses tes psikologi. Dari karanganya si Anu, si Ani, si Itu, si Ini, dan si banyak lagi. Dari yang disusun seorang diri sampai yang disusun beramai-ramai. Kalau diamati, orang-orang yang menyusun buku-buku tersebut bukan dari lulusan psikologi! Haduuh...bahaya! Mereka berlomba-lomba menyusun materi yang lebih lengkap dari buku-buku psikotes yang lain. Buku psikotes yang amat sangat lengkap, tentu akan diminati banyak pembeli. Apalagi jika menjelang pembukaan CPNS. Siapa sih yang mau rugi?

Aku jadi ingat kejadian lalu. Seorang teman pernah mengutarakan ingin pinjam buku macam-macam tes psikologi pada seorang temanku yang jurusan psikologi karena ia mau mendaftar kerja. Di buku itu memang lengkap, ada penjelasan berbagai karakter yang terbaca dari tes-tes tersebut. Buku itu, memang pegangan bagi mahasiswa psikologi. Temanku yang jurusan psikologi itu menolak, bukanya pelit, tetapi memang itu kode etiknya, tidak boleh diketahui orang umum. Aku sangat ingat, mereka sempat tak bertegur sapa beberapa hari karena hal tersebut. Hmm...ya memang benar kata temanku anak psikologi itu. Alat tes psikologi saja, tidak boleh dibawa pulang, karena dikhawatirkan ada orang lain yang berusaha untuk menjadikannya lahan bisnis itu tadi.

Hm..Bisnis memang kejam. Dan harusnya ada batasan dan sanksi yang tegas. Terutama untuk kode etik.

Komentar

Postingan Populer