Nikah Itu (tidak) Gampang
Milikilah sebuah perahu dengan pancang yang kencang sebelum kita berlayar. Karena angin dan badai tak akan berkirim kabar dahulu sebelum mereka mengetuk pintu.
Nikah. Ketika orang-orang seusiaku,
bahkan ada juga yang di bawahku sibuk menata diri, aku malah sibuk menata
keuangan biar bisa DP rumah. Duh, sebenarnya aku yang terlalu idealis apa mereka yang
terlalu cepat mengambil keputusan ya? Aku punya alasan tersendiri mengapa aku,
kami tak mau melangkah ke pelaminan
sebelum salah satu dari kami punya tabungan (red. rumah).
Bagi kami, rumah adalah tabungan.
Tabungan untuk masa depan anak-anak kami kelak. Tabungan bagi kami untuk
menjalani masa tua bersama dalam rumah sendiri yang nyaman. Pernikahan hanya sekedar secuil adegan yang
harus dijalani sebelum menapaki adegan-adegan selanjutnya. Pernikahan adalah sebuah gerbang depan yang
harus dilewati sebelum melewati gerbang-gerbang lain yang lebih sulit terbuka
hingga akhirnya sampai pada satu tujuan. Tentu saja untuk melewati gerbang-gerbang yang
lain akan ada banyak sekali godaan.
Apakah mereka tidak sadar? Apakah mereka
tidak berpikir jauh ke depan seperti kami? Nikah hanya dengan modal pas-pasan
dan tak punya tabungan rumah. Mengambil keputusan buat nikah hanya karena
desakan orangtua, umur, dan iri sama teman-teman yang sudah nikah, merupakan
tindakan yang sangat bodoh dan ceroboh. Pernikahan itu bukan seperti makanan instan yang hanya perlu
sentuhan sedikit langsung bisa dinikmati. Bukan. Sama sekali bukan. Pernikahan
itu membutuhkan banyak tahap agar menjadi sebuah mahakarya yang kelak akan kita
ceritakan kepada anak cucu.
Kami bukannya iri, kami hanya ingin
melakukan pembelaan terhadap pertanyaan “kapan” yang sering mampir di telinga.
Nikah itu perkara gampang bagi kami. Karena gampangnya itu, kami santai
memikirkannya. Kami lebih memberatkan pikiran kami pada kehidupan setelah
nikah. Setelah nikah sudah tidak ada lagi aku dan kamu, adanya kami. Bagaimana
kelak kami akan membuat perahu rumah tangga kami berjalan dengan baik. Bagaimana
kelak kami menghadapi badai dan angin. Dan bagaimana kelak kami membesarkan
anak-anak kami. Itulah yang sedang kami diskusikan. Lama. Ya memang lama!
Menyatukan dua kepala itu susah susah gampang. Tak jarang kami berdebat hanya
karena perbedaan pola dalam pengasuhan anak. Dan yang paling berat adalah
ketika sampai pada masalah keuangan keluarga. Bagaimana kami harus membagi
dengan adil untuk segala keperluan. Ya, kami sudah membicarakan itu!
Bagaimana
dengan kalian yang ketika kami tanya, “apakah sudah siap?” hanya dijawab “siap
tidak siap ya harus siap!”? Duh, dari jawaban kalian saja kami sudah
menyimpulkan kalau sebenarnya kalian BELUM SIAP! Menjalani pernikahan bukan
seperti menghadapi ujian nasional, atau menghadapi ujian CPNS yang memang sudah
disepakati tanggal dan harinya. Pernikahan bukan hanya sekedar menjalani ahad
nikah dan resepsi yang bisa selesai dalam waktu satu atau dua hari. Pernikahan
itu untuk selamanya.
Menyuplik dari artikel Hipwee, “Tak Perlulah Buru-buru Menikah. Puaskan Dulu Hatimu Patah”
“Kita ini bukan ayam petelur yang harus selalu khawatir karena masalah umur. Kita juga bukan anak SMP yang kena kritik guru BP sedikit langsung ingin mundur. Kamu, saya — kita adalah orang-orang dewasa yang semestinya tak takut lagi untuk sekadar terbentur.”
Yak, benar sekali! Kami masih belajar untuk
menjadi dewasa. Kami masih belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik bagi
anak-anak kami kelak. Kami masih belajar bagaimana menyatukan perbedaan. Dan
kami masih belajar memantaskan diri kami masing masing untuk gelar yang kami
sandang ketika sudah menikah (suami/istri).
Itulah pembelaan kami, mohon dihormati.
Komentar
Posting Komentar