"."
Lelah
rasanya jika memikirkan tentang pernikahan. Lelah hati dan lelah pikiran. Lagipula apalah pernikahan
itu? Ia telah mejelma menjadi acara keluarga besar bukan acara sang mempelai.
Idealnya, penikahan adalah murni acara kedua mempelai. Dari konsep acara,
catering, model undangan, sampai para tamu yang diundang. Namun, di Indonesia
tidak begitu. Acara pernikahan didominasi oleh orangtua dan keluarga besar
mempelai. Lalu tugas mempelai apa? Tugas mempelai hanya manut dan melaksanakan
permintaan keluarga besar. Ide dari mempelai yang dianggapnya tidak sesuai
dengan adat ketimuran, langsung ditolak mentah mentah. Dikira sombong, dikira
tidak mau menghargai orang lain, dikira egois, dan lain lain. Arrrggg...
Padahal
keinginannya cukup sederhana. Tamu undangan tak usah banyak-banyak. Yang
diundang cukup yang terdekat saja. Dengan begitu akan menimbulkan suasana
keakraban. Gak kebayang bagaimana awkwardnya moment ketika mempelai bersalaman dengan
orang yang tidak dikenal. Kecanggungan dan kebingungan, “Ini siapa ya?” pasti
ada di dalam benak. Kesakralan pernikahan pun juga pasti akan terasa ketika
yang datang hanya sedikit. Tidak terdistraksi dengan suara banyak orang yang ngrumpi. Suasana pernikahan pun
tercipta, tidak sekedar pesta pesta saja.
Dari segi
orang lain yang mendapatkan undangan pernikahan pun ada sisi baiknya jika hanya mengundang orang-orang terdekat/tertentu.
Seringkali kita mendapat undangan pernikahan dari orang yang tidak kita kenal
akrab banget. Sebenarnya kita malas untuk datang, tapi karena tidak enak dengan
yang punya gawe, akhirnya datanglah kita. Di sisi lainnya lagi, ada orang yang
tak peduli dengan hubungan keakraban dengan yang punya gawe. Dapat undangan,
langsung berangkat hanya karena ingin mencicipi hidangan yang disediakan
(sepertinya yang satu ini banyak terjadi). Bisa tercium aroma ketidakikhlasan
dari dalam diri orang-orang tersebut.
Idealnya,
baik yang mengundang dan yang diundang mempunyai rasa keikhlasan. Mengundang
orang itu juga harus ikhlas lho, tidak sekedar cuma memenuhi rasa ”gak enak”
dan gengsi semata. Kadang orang punya gawe itu, mengundang banyak tamu hanya
karena gengsi, hanya karena tidak mau dipandang “Kayane wong sugih, kok le ngundang mung sithik.” atau “Sombong banget sih pak/bu anu, mantu kok
ora ngundang ngundang”. Sebagian besar hanya tidak mau dicap seperti itu.
Masyarakat memang tidak ada habisnya dalam mempergunjingkan orang lain. Kalau
menuruti semua yang dimaui masyarakat, lama-lama kita tidak menjadi be my self tetapi be have. Memang kita hidup bermasyarakat, tetapi kita juga harus
bisa memilah antara yang cocok dan baik untuk kita dan yang tidak cocok untuk
kita. Hidup bermasyarakat tidak semengsengsarakan itu kok!
Sebagai contoh,
pernikahan penyanyi Andien dan suaminya yang hanya dihadiri oleh orang-orang
terdekat. Konsep pernikahan yang sederhana, akrab, dan elegan. Jujur saya kepengen. Ya,
siapa sih yang tidak iri dan kepengen pesta pernikahannya seperti itu nantinya.
Bagaimana jelasnya pernikahan Andien bisa dibaca di link 1 dan link 2.
Komentar
Posting Komentar