Tes Acept dan Tes Bahasa Indonesia. Mana yang Lebih Penting?

Awal bulan kemarin, aku sempat merasakan lega karena tesisku sudah ACC untuk maju ujian. Perjuanganku melawan rasa malas terbayar dengan berita tersebut. Namun, kelegaanku berangsur-angsur memudar karena kelulusan tes Acept dan PAPs termasuk syarat utama untuk bisa mendaftar ujian. Dulu waktu masuk, syarat yang utama juga harus lulus kedua tes tersebut. Dan ternyata untuk keluar pun dilakukan tes yang sama. Tes PAPs bagiku lebih mudah dibanding tes Acept. Kelemahanku memang pada Bahasa Inggris. Delapan tahun tidak bersentuhan dengannya. Bersentuhan pun, hanya pada permukaannya saja, karena buku-buku pengantar mata kuliah S2 kebanyakan Bahasa Inggris. Ya...sebagian kubeli meski tak pernah kubaca. Aku lebih memilih versi Bahasa Indonesia (jika ada). 

Apakah semua unversitas di Indonesia, mengharuskan kelulusan dari kedua tes itu untuk masuk dan keluar dari studi S2? Atau cuma di UGM saja? Bagaimana dengan UNY? Begitu jugakah? Setahuku malah justru di ISI (seorang teman pernah mendaftar S2 di sana). Di ISI, calon mahasiswa diwajibkan membuat portofolio dirinya satu tahun sebelumnya. Dan itu harus ada rekomendasi dari seniman terkait. Ya..memang berbeda sih..ISI kan Institut seni, jadi di sana lebih mengutamakan karya bukan hanya sekedar teori. 
Jika universitas membuat kebijakan yang sama, mungkin akan lebih bagus. Misalnya, tes ujian masuk disesuaikan dengan jurusan yang akan diambil. Syarat kelulusan juga begitu. Jadi mahasiswa paham betul tentang jurusannya serta bentuk aplikasinya dalam kehidupan nyata. Boleh ada tes seperti Acept, tapi itu bukan termasuk syarat utama (kecuali untuk jurusan Bahasa Inggris). Atau ada tes Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Itu malah yang seharusnya wajib karena ternyata sebagian besar orang Indonesia, telah lupa dengan tata bahasa sendiri. Memprihatinkan! Kapan ya kebijakan tersebut terlaksana?

Sedih sekali jika mendapati atau mendengar seseorang menyepelekan Bahasa Indonesia, seperti, "Bahasa sehari-hari saja sudah memakai Bahasa Indonesia, untuk apa dipelajari?" Aduuh...ingin rasanya aku memaki seseorang itu! Bagaimana pun juga Bahasa itu tidak bisa hanya dipelajari secara lisan saja, tapi juga tulisan. Semua bahasa juga seperti itu. Terkadang kita bisa lancar bercakap dan bernegosiasi, tapi ketika disuruh menulis, tata bahasanya hacur lebur. Nah, itu gunanya belajar tata bahasa Bahasa Indonesia. Agar tahu bagaimana menulis yang benar. Terutama menulis dalam Bahasa Indonesia (karena kita hidup di Negara Indonesia). Bukankah di setiap jenjang pendidikan diharuskan untuk pandai menulis?

Jadi ingat cerita seorang tetangga rumah yang menceritakan anaknya (kelas 5 SD). Nilai terendah yang didapat dari hasil UUKK adalah nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tetanggaku bercerita bahwa anaknya itu malas kalau disuruh membaca. Padahal untuk dapat memahami soal-soal Bahasa Indonesia, harus dibaca secara cermat dan teliti. Piye jal, orang Indonesia kok malah tidak paham Bahasa sendiri? Kemudian aku berfikir, agar dikemudian hari si anak mencintai bahasa sendiri, dari kecil harus dibiasakan membaca (tentu saja buku yang berbahasa Indonesia). Dari situ, si anak akan terlatih mencerna kalimat-kalimat yang digunakan dan belajar mengenai tata bahasanya. Anakku kelak, kulatih seperti itu ah! hehe...Tidak boleh ngisin-ngisini ibunya yang lulusan Sastra Indonesia.

Wah, wis dawa banget critaku ternyata. Hm...sekedar mengeluarkan uneg-uneg sebelum menghadapi tes Acept esok hari. Hanya berbekal doa dan intuisi. Semoga lolos!! Amiin..

Komentar

Postingan Populer