Tidak Ada Alasan Bagiku untuk Melarikan Diri


Tadinya sempat terlintas dalam pikiranku untuk melarikan diri.  Mencari tempat lain yang mungkin bisa menyenangkan hatiku. Yang bisa membuatku seperti teman-temanku. Namun, belum sempurna persiapanku untuk melarikan diri, tangan dan tubuhku telah ditarik untuk kembali. Katanya, aku tidak boleh melarikan diri. Seberapa jauh kakiku akan menjauh, langkahku akan kembali ke jalanku yang sempat kulompati. Perlahan aku tersadar dari khilafku. Ya, perkataannya memang benar. Ini adalah jalan yang seharusnya kulewati terlebih dahulu sebelum aku mencapai jalan yang diinginkan oleh semua manusia. Jalanku untuk mencapainya belumlah sempurna, meski beberapa teman seusiaku sudah menapak kemapanan. Bahkan ada beberapa yang berusia jauh di bawahku sudah mengalaminya.

Kesabaran harus kutempa lebih kuat. Kesabaran untuk mencapai sebuah keinginan yang selalu diidam-idamkan ketika telah tuntas menempuh pendidikan. Aku menyadari jalan masing-masing orang untuk mendapatkan dunianya bermacam-macam. Dan jalan itu tidak semata-mata keinginan tetapi juga kebutuhan dan tuntutan dari orang-orang disekitarnya. Mungkin, ada yang beranggapan cukup mendapat titel sarjana lalu berebut dan bersaing dengan para penyandang titel sarjana lainnya untuk mendapatkan posisi di sebuah pekerjaan. Ada pula yang masih bertitel SMA, berjubel mengirimkan surat lamarannya ke berbagai perusahaan. Lalu ada juga yang langsung ingin menyandang gelar istri/suami. 

Berbicara mengenai pekerjaan, terus terang aku tidak meminta yang muluk-muluk, misal, harus diterima di perusahaan yang bonafit atau harus menerima gaji tinggi. Bahkan, aku tidak tertarik untuk menjejakkan kaki dan mentransfer segala ilmu dan pengalamanku di tempat yang jauh, menyeberang pulau misalnya. Aku cukup di sini, di kotaku, di kota gudeg, kota berbudaya, dan kota penuh seniman. Menurutku, pekerjaan bukanlah sesuatu dari sekian banyak hal yang bisa dibanggakan. Pekerjaan yang tidak dilengkapi dengan ketrampilan dan pengalaman yang baik, sangat jauh dari sukses. Dan aku sangat bersyukur telah memiliki ketrampilan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sulit.

Dan, sesungguhnya aku juga tidak perlu bersedih karena suatu hal yang bukan menjadi prioritasku. Biarkan orang lain berbicara sesuai dengan suku masing-masing. Aku suku Jawa dan berkebangsaan Indonesia. Aku sangat menjunjung tinggi kebangsaanku meski sekarang kelihatan kebarat-baratan. Bahkan telingaku menjadi sangat panas jika mendengar orang lain berbicara menggunakan bahasa selain Jawa dan Indonesia. Mungkin tidak mudah bagiku untuk berusaha tidak mendengar karena disekitarku makin banyak saja orang yang dengan bangganya menggunakan bahasa yang bukan bahasa induknya. Bukan hanya bahasa lisan, tetapi diktat dan buku-buku acuan kuliah pun sudah mengacu pada sistem barat. Banyak orang Indonesia yang mengaku mencintai bangsanya, tetapi masih tetap mengagumi bahasa bangsa lain.  

Kini, tidak ada alasan bagiku untuk melarikan diri dari jalan yang seharusnya kulewati. Aku harus menapakinya agar aku bisa mewujudkan mimpi yang lebih dari orang lain yang tidak menempuh jalan yang sama denganku. 
Terima kasih, untuk seorang bapak yang tidak ingin anaknya menempuh jalan yang salah, seorang bapak yang tidak ingin anaknya mengulangi kesalahan yang dulu pernah ia buat. Kini, aku akan selalu mengingat semua nasehatmu, akan kubuktikan bahwa aku mampu melewati jalan ini meski dengan tertatih dan penuh rasa sabar.

Komentar

Postingan Populer