Tembakau dan Rokok
Pro kontra terhadap rokok makin mencuat disusul
adanya berita YLKI (Yayasan Lembaga Konsumsi Indonesia) menggugat Mensos Khofiffah
Indar Parawansa karena membagikan rokok gratis kepada Suku Anak Dalam Jambi.
Alasan YLKI menggugat adalah bertentangan dengan isi Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif
bagi kesehatan. Pada pasal 35 ayat 1 disebutkan bahwa Pemerintah melakukan
pengendalian promosi produk tembakau. Pengendalian ini salah satunya dilakukan
dengan tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk
tembakau atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau. Sangat
bertentangan menurut pandangan YLKI karena pada saat itu, Mensos berkunjung ke
Suku Anak dalam dalam rangka turut berbela sungkawa atas meninggalnya beberapa
warga Suku Anak Dalam karena kelaparan. Mensos tak hanya datang tetapi juga
memberikan sumbangan berupa sembako dan obat obatan. Namun, ternyata tak hanya
itu saja yang dibagikan, tetapi juga memberikan rokok gratis. Menurut YLKI,
mensos tidak peduli terhadap kesehatan masyarakat. Datang karena berbela
sungkawa tatapi kok memberi hal atau produk (dalam hal ini) yang menyebabkan
kematian dan kemiskinan bagi rakyatnya.
Menurut saya, kedua belah pihak sudah melakukan
tindakan yang benar hanya saja mereka melakukannya dari sudut pandang yang
berbeda. Satu dari sisi kebudayaan, yang satu dari sisi kesehatan. Yang kalau
menurut saya akan panjang dan tak akan selesai didebat karena berbeda sudut
pandang. Pro kontra tentang fenomena rokok di Indonesia memang sudah ada sejak
dulu dan masalah ini belum rampung sampai sekarang.
Rokok memang sudah menjadi bagian dari budaya
Indonesia. Tidak lain dan tidak bukan itu akibat dari gencarnya iklan rokok
sampai ke pelosok-pelosok daerah. Iklan memperkenalkan rokok adalah sebuah
simbol keakraban, kebebasan, kejantantan, dan kepopuleran seseorang. Untuk
“ngguyupi” suatu komunitas atau kelompok, dapat melalui rokok. Contohnya banyak
terjadi di masyarakat. Misalnya, ketika bapak-bapak atau anak muda sedang
berkumpul mayoritas perokok, kalau kita tidak ikut merokok dianggap tidak
“ngguyupi”. Nah, kebiasaan yang dilakukan terus menerus inilah yang
mengakibatkan timbulnya suatu budaya.
Di sini saya katakan iklan itu “racun”. Bukan
berarti saya membenci iklan, toh banyak juga iklan yang mendidik. Saya katakan
“racun” di sini dalam konteks iklan rokok. Iklan rokok di Indonesia bagus bagus
meski sebenarnya tidak nyambung. Iklan iklan rokok menayangkan bahwa rokok
adalah bagian dari hidup. Seolah olah iklan itu berkata “Belum merasakan
nikmatnya hidup kalau belum merokok”, “Belum merasakan suatu petualangan yang
menakjubkan kalau tidak merokok”, dan sebagainya. Lihat saja tag line produk-produk rokok semuanya
merujuk pada gaya hidup yang sempurna. Hebat sekali iklan-iklan tersebut.
Kekuatan sebuah produk adalah pada iklan. Nah, begitu juga dengan rokok.
Sejak satu tahun yang lalu, bungkus rokok wajib
disertai gambar-gambar mengerikan akibat merokok. Namun, sepertinya itu tidak
ada pengaruhnya bagi para perokok. Iklan-iklan yang dipajang di jalan-jalan,
menempatkan gambar-gambar tersebut pada pojok bawah dan ukurannya sangat kecil
bahkan tidak bisa terlihat jika tidak mendekat. Tentu saja ini adalah sebuah
konspirasi. Kalau perusahan rokok memasang iklannya memberi space yang banyak
untuk gambar-gambar mengerikan tersebut, orang-orang tidak akan lagi membeli
rokok karena takut. Semakin sedikit orang yang membeli sebuah produk rokok,
akan semakin bangkrut perusahaan rokok tersebut. Dan yang terjadi adalah orang-orang tetap membeli rokok. Rokok sudah menjadi kebutuhan primer dan budaya tentu saja.
Bagaimana cara untuk menghentikan atau menghilangkan budaya tersebut? Jawabannya ada di diri kita masing-masing. Kesadaran akan kesehatan diri sendiri dan orang-orang terdekat. Penyakit tidak hanya bersarang pada perokok aktif saja tetapi penyakit juga akan mampir ke perokok pasif karena sesungguhnya asap rokoklah yang berbahaya. Kecuali kalau para perokok mau menelan asapnya.
Lalu bagaimana dengan nasib para petani tembakau? Tak perlu mereka mengganti dengan tanaman lain.Tak perlu pula lalu menganggur. Teruslah menanam dan memanen tembakau. Hasilkanlah tembakau yang berkualitas baik dan tinggi. Setelah itu masukkan hasilnya ke pabrik-pabrik rokok. Jangan dijual di pasar-pasar atau tengkulak. Menurut cerita teman yang di daerahnya merupakan penghasil tembakau, hasil panen tembakau mereka hanya di jual di pasar. Padahal sebenarnya kualitas tembakau yang dihasilkan lebih tinggi daripada tembakau yang digunakan di pabrik-pabrik. Ini seharusnya pabrik rokok juga harus memperhatikan kesejahteraan petani tembakau. Belilah tembakau mereka dengan harga tinggi. Memang risikonya harus menaikkan harga jual rokok. Namun, menurutku hanya dengan cara itulah masing-masing pihak tidak akan ada yang dirugikan. Mereka yang sudah kecanduan merokok, pasti akan membeli rokok berapapun harganya. Yakin, gak akan ada yang demo seperti ketika harga bensin dinaikkan.
Nasib buruh rokok gimana dong? Ini pemasalahannya. Sebenarnya agak susah juga ini karena berkaitan dengan berbagai macam faktor. Terutama faktor ekonomi. Berapa sih, gaji para buruh di pabrik rokok? Sepertinya hanya bisa dikatakan pas-pas-an. Gaji yang pas-pasan tersebut tidaklah sebanding dengan risiko kesehatan yang mereka hadapi. Tak tahu persis juga apakah pabrik-pabrik rokok menyediakan asuransi kesehatan bagi pekerjanya atau tidak. Seharusnya sih iya. Sebenarnya mereka bisa mencari pekerjaan lain yang lebih terjamin keselamatan dan kesehatannya. Namun, lagi-lagi ada faktor lain yang saling berkaitan, ekonomi dan pendidikan.
Hmm...rumit sekali Indonesia ini. Sudahlah, daripada makin rumit disudahi saja tulisan ini. Jadi, marilah ikut menyelamatkan generasi muda dari bahaya merokok, petani tembakau, dan buruh rokok. Selamatkan Indonesia. Merdeka!
Nasib buruh rokok gimana dong? Ini pemasalahannya. Sebenarnya agak susah juga ini karena berkaitan dengan berbagai macam faktor. Terutama faktor ekonomi. Berapa sih, gaji para buruh di pabrik rokok? Sepertinya hanya bisa dikatakan pas-pas-an. Gaji yang pas-pasan tersebut tidaklah sebanding dengan risiko kesehatan yang mereka hadapi. Tak tahu persis juga apakah pabrik-pabrik rokok menyediakan asuransi kesehatan bagi pekerjanya atau tidak. Seharusnya sih iya. Sebenarnya mereka bisa mencari pekerjaan lain yang lebih terjamin keselamatan dan kesehatannya. Namun, lagi-lagi ada faktor lain yang saling berkaitan, ekonomi dan pendidikan.
Hmm...rumit sekali Indonesia ini. Sudahlah, daripada makin rumit disudahi saja tulisan ini. Jadi, marilah ikut menyelamatkan generasi muda dari bahaya merokok, petani tembakau, dan buruh rokok. Selamatkan Indonesia. Merdeka!
Komentar
Posting Komentar