Surat Untuk R
Tak ada yang lebih
melegakan selain mendengar kabar bahwa kau baik-baik saja di sana. Tadi pagi,
sekelebat bayangmu muncul. Aku merasakan bahwa kau memanggil-manggil namaku.
Seketika aku ragu, menjawabnya atau kudiamkan saja sampai kau lelah lalu pergi.
Namun, semakin lantang kau meneriakkannya, semakin kencang pula gedoran di
hatiku. Akhirnya kuberanikan melayangkan sebuah pesan singkat kepadamu. Jelas
dan bersahabat. Pagi itu aku tak berharap bahwa kau akan membalasnya, tetapi
kau ternyata membalasnya dengan nada yang membuatku bernapas lega.
“Hai
Bro, apa kabar?
“Baek,
km sndiri gmn? Ngantor gk?
“Baik.
Iya ini di kantor. Alhamdulillah kalau baik-baik saja :-)”
Meskipun tak ada
balasan lagi darimu, tetapi semua itu sungguh sangat melegakan hatiku yang
merasa tak nyaman sejak pagi. Pesan singkat yang menyiratkan pertanyaan “apakah kau baik-baik saja?”, telah
terjawab. Berulang kali aku merasakannya sejak kau menyapaku tiga minggu yang
lalu. Sungguh, rasa ini menyiksa. Batinku dilema. Sengajakah kau berulang kali
datang dan mengusikku? Ataukah memang benar yang ada di hatimu adalah namaku?
Sulit sekali membacanya.
Kita memang bertemu dalam
pelarian, kau lari dari tunanganmu yang ternyata mengkhianati, sedangkan aku
lari dari seseorang yang tak mungkin kugapai. Kita berbagi kesedihan dan
kemalangan. Lalu muncullah rasa terlarang, yaitu cinta. Kupikir bukan cinta
yang salah, tetapi kita saja yang salah meletakkannya. Dengan susah payah aku
memindahkannya di tempat yang seharusnya. Aku berhasil. Bagaimana dengan kau?
Harusnya kau lebih berhasil karena kau telah memberikannya secara sah kepada
perempuan lain. Namun, kenyataan berkata lain. Kau bilang bahwa kau tak bisa
memindahkannya. Cintamu itu masih berada di posisi yang sama seperti dulu.
Haruskah aku percaya padamu? Tentu saja kau tak bisa membuktikannya, pertama
karena jarak, yang kedua karena ikatan. Karena itulah, aku bertahan pada
pilihan, mengabaikan. Aku tak meminta bukti dan aku akan menganggap bahwa di
antara kita sudah tak ada rasa apapun.
Teruntukmu, terima
kasih atas rasa-rasa yang pernah kita jalin. Itu sebagai pengingat bahwa kita
pernah dekat, bahwa kita pernah mengikat rasa dan jiwa. Maaf jika kedekatan itu
harus terputus. Bukan aku atau kamu yang menginginkannya tetapi takdir Tuhan.
Semoga kita tetap bahagia bersama pasangan masing-masing tanpa melupakan aku,
kamu, sebagai masa lalu kita.
Komentar
Posting Komentar