Parangkusumo, Keindahan dalam Balutan Budaya
http://jogja.tribunnews.com/2014/05/31/tribun-foto-inilah-foto-foto-upacara-labuhan-di-parangkusumo |
Senin sore kami
sengaja ke pantai untuk melepas penat. Pantai Depok menjadi tujuan karena
paling dekat dengan kos. Waktu itu di dalam pikiran saya cuma mau lihat ombak,
membuang penat, membuang kemarahan, membuang kesedihan. Tapi ternyata kedatangan
kami ke pantai sore itu sangatlah tepat karena malam itu adalah malam Selasa Kliwon, dalam perhitungan Jawa, setelah Magrib sudah memasuki Selasa Kliwon.
Lalu ada apa dengan Selasa Kliwon?
Setelah
magrib, kami beranjak menuju pantai Parangkusumo yang berada tidak jauh dari
pantai Depok. Memasuki komplek pantai, suasana ramai. Banyak yang membuka lapak
dan berjualan di sepanjang jalan menuju pantai. Macam-macam yang mereka jual,
dari baju, selimut, celana, mainan anak, jam tangan, sampai barang-batang kuno
macam keris, dan benda-benda kuno lainnya. Oh ya sebelum sampai di kompleks
orang berjualan itu, kami melewati beberapa bangunan rumah yang di depannya
terpampang tulisan “karaoke”. Di depannya ada beberapa perempuan berpakaian
seksi dan berdandan. Seketika ingatan saya melayang pada film “SITI” besutan
sutradara Eddi Cahyono dan produser Ifa Isfansyah yang meraih penghargaan sebagai film Terbaik
Festival Film Indonesia (FFI) 2015. Begini ternyata kehidupan real-nya. Kata teman perjalanan saya, makin malam, makin ramai. Tak
tanggung tanggung perempuan-perempuan itu menawarkan diri kepada laki-laki yang
berkunjung di pantai untuk ngamar.
Duh, ngeri ya!
Setelah
berkeliling, kami memutuskan untuk memarkir kendaraan kami tepat di depan
tulisan Pantai Parangkusumo. Aroma dupa menyambut kami ketika kami berjalan ke
arah pantai. Ya, Selasa Kliwon adalah hari yang sangat baik bagi orang Jawa,
selain Jumat Kliwon. Benar saja, setelah sampai di pantai, beberapa orang duduk
menghadap pantai, di hadapan mereka menyala dupa yang sengaja mereka bakar. Tak
hanya itu, beberapa orang juga berjalan-jalan sambil mengarahkan penerangan
yang dibawanya ke arah bawah. Mereka ternyata sedang mencari barang, ya barang
apa saja yang mereka temukan dan diyakini sebagai jimat. Kata teman perjalanan
saya lagi, ini mah belum seberapa, nanti malam pasti semakin ramai orang yang
berdatangan dari berbagai wilayah Jawa Tengah (Klaten, Solo, Semarang, dsb.).
Ternyata, pantai Parangkusumo ini diyakini
sebagai gerbang istana Nyi Rara Kidul. Dari beberapa sumber yang baru saja saya
baca, keyakinan tersebut dimulai sejak kekuasaan Panembahan Senopati, pendiri
Kerajaan Mataram. Hubungan antara Panembahan Senopati dan Nyi Rara Kidul
dimulai ketika Panembahan senopati melakukan tapa ngeli (bertapa dalam aliran sungai) untuk menyempurnakan
kesaktiannya. Tiba-tiba terjadi badai, air laut seakan membelah. Kejadian
tersebut membuat Rara Kidul menampakkan diri. Keduanya bertemu dan saling jatuh
cinta.
Panembahan Senopati pun mengungkapkan
keinginannya untuk menguasai Mataram. Permintaan itu dikabulkan Ratu Kidul
dengan syarat Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Ratu Kidul.
Senopati menyetujuinya asalkan mereka tidak mempunyai anak. Nah, perjanjian
itulah yang diyakini membuat hubungan Keraton Jogja dan Istana Laut Selatan
sangat erat. Bahkan hingga saat ini. Setiap awal bulan Suro pun ada tradisi
Labuhan yang melambangkan wujud syukur Keraton Jogja kepada Istana Laut Selatan
yang telah menjaga kedamaian.
Selain di hadapan laut selatan, tempat sakral
lainnya yang digunakan untuk bertapa, yaitu batu cinta. Batu ini dikelilingi
sebuah pagar. Tempat ini dinamakan Cepuri. Saya juga sempat menengok tempat
ini. Di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ada dua penjaga yang memakai pakaian
khas abdi keraton Jogja. Sepertinya mereka adalah juru kuncinya. Di meja mereka
terdapat tumpukan kemenyan dan bunga yang sepertinya dijual untuk masyarakat
yang ingin melakukan tapa di batu cinta. Saya berjalan lebih dekat ke pagar.
Aroma kemenyan dibakar langsung menyeruak. Di dalam situ, ada sepasang suami
istri (kayaknya) yang duduk berjejer di depan sebuah batu yang ditaburi
bunga-bunga. Mereka tampak khusuk berdoa. Sumpah, saya pengen banget
mengabadikan ini, tapi saya tidak enak. Tidak sopan rasanya mengganggu mereka
berdoa. Oh iya, di samping depan cepuri, juga ada musala lho! Ini pemandangan
yang menyejukkan sebenarnya. Begitu damainya budaya dan agama berjalan
berdampingan.
Sudah lama sebenarnya saya mendengar tentang
cerita-cerita itu, tapi baru kali ini saya melihat langsung. Senang rasanya
mengetahui secara langsung sesuatu yang menjadi bagian dari kebudayaan. Pengen
rasanya saya tinggal lebih lama di situ demi melihat ramainya orang-orang yang
melarungkan doa dan keinginannya. Namun, apa daya saya tidak bisa mengabaikan
jam malam di kosan saya. Lagipula, saya juga takut jika semakin malam, tempat
tempat karaoke semakin ramai dan makin banyak pula perempuan yang menjajakan
kenikmatan. Katanya sih, mereka cuma beroprasi ketika malam Selasa Kliwon dan
Jumat Kliwon. Mungkin karena malam-malam tersebut yang ramai pengunjung.
Akhirnya kami pulang membawa cerita yang sangat
menarik. Kapan-kapan, saya pengen ke Parangkusumo lagi, melihat pantai di waktu
pagi. Mengambil banyak foto tentu saja.
Grazie.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny