Perbincangan yang Tak Pernah Selesai

Selalu begini akhirnya jika perbincangan kami sampai pada pekerjaan. Mungkin karena cara pandang kami yang berbedalah yang menyebabkan masalah ini tak pernah berujung dengan damai. 
"Percayalah padaku, Dik, aku akan membuktikannya padamu." katanya berkali-kali ketika aku mengomentari cerita soal pekerjaannya. Aku percaya padanya. Hanya saja aku tidak begitu yakin dan percaya pada pekerjaannya. Bukan berarti pekerjaannya buruk. Pekerjaan itu baik, hanya saja penghasilan yang didapat belum tentu atau lebih tepatnya tidak tetap setiap bulannya. Memang, aku sedikit menuntutnya soal ini. Karena seharusnya, menurutku laki-laki sangat berperan penting dalam menopang kehidupan rumah tangga dan perempuan hanya membantunya. Selama ini aku bersikeras agar dialah yang mempunyai pekerjaan tetap. Namun dia selalu membantahnya dengan alasan pendapatan yang diperoleh tidak unlimited. Ah, bagaimana menjelaskan padanya kalau pendapatan yang dihasilkan pekerjaan tetap itu, pasti dan bisa dirasakan setiap bulannya. Setidaknya dibandingkan dengan pekerjaannya kali ini, alternatif "pekerjaan tetap" itu tetaplah yang terbaik. Mungkin diperlukan deskripsi yang lebih jelas tentang "pekerjaan tetap" itu. Yah, "pekerjaan tetap" itu, ada imbalan/gaji yang didapat rutin setiap bulannya meski pekerjaan yang kita kerjakan belumlah sempurnya. Ya begitulah, jadi ada pemasukan yang rutin setiap bulannya. Memang, katanya pendapatan yang sekarang lebih menjanjikan. Tapi belum tentu kapan dapatnya karena tergantung oleh orang-orang yang ditawari.  Mereka bisa bilang iya (intinya dapat duit), bisa juga bilang tidak (intinya tak dapat duit). Lebih bagus lagi kalau semua orang bisa disetting untuk bilang "iya", tak perlulah aku menuntutnya seperti sekarang ini. Alasan lainnya kenapa aku menuntutnya adalah karena aku tak punya banyak pengalaman kerja, jadi jika kami bersama dan aku belum juga berhasil mendapatkan kerja, ya hanya dia yang bisa diandalkan. Aku bisa membantunya dengan kerja freelance atau semacamnya. Hanya itu alasanku.
Membicarakan pekerjaan memang tak pernah menemukan jalan damai. Selalu menyisakan dingin. Dan ujung-ujungnya, hanya ditutup dengan kata "mbuhlah" dan "sekarepmu". Tak pernah selesai.

Komentar

Postingan Populer