Nicotiana Tabacum


Aku cemburu terhadap  Nicotiana tabacum. Ia telah membuatmu kecanduan akan ramuan yang telah dibuatnya agar kau bertekuk lutut dihadapannya. Melayaninya hingga membuatnya menjadi sangat indah dan lezat untuk disantap. Ya kau melayaninya bak ratu. Seolah-olah hanya dia yang pantas menduduki kursi tahta. Lalu kau dengan mesranya melinting tubuhnya menjadikannya pemuas atas dahagamu. Menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi orang-orang yang telah terjerat oleh nafas nafsunya. Oh, aku muak sekali bila membayangkannya.

Pagi ini, kecemburuanku memuncak. Nicotiana tabacum telah memanggil-manggil namamu sebelum aku, istrimu, menyapamu dengan sarapan yang hangat. 
"Mau ke mana, Pakne? Mbok sarapan dulu." tanyaku curiga ketika melihatmu telah berpakaian dan mengenakan alat penutup kepala untuk melindungi sengatan matahari.
"Nanti saja dulu Bu'e..Tembakau-tembakau itu harus segera dipanen. Kalau tidak mereka akan layu. Lagi pula aku sudah janji sama orang-orang yang mau membantuku memanen. Tidak enak kalau aku datang terlambat." jawabmu dengan melangkahkan kaki ke luar rumah dan rumah seketika sepi. Hanya nafasku yang memburu menahan cemburu.

Kecemburuanku ini bukan tanpa alasan. Kecemburuanku ini sudah kususun sejak aku belum belum menikah. Aku selalu mengutarakannya tetapi tak pernah kau sambut dengan positif. Kau. Pekerjaanmu yang susungguhnya bukan menjadi petani. Kau telah menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan asuransi terkemuka. Seharusnya kau ke kantor dan mengevaluasi pekerjaan yang dilakukan oleh bawahanmu. Itu kecemburuanku yang pertama. Lalu kecemburuanku yang kedua adalah, bahwa sebenarnya aku tidak suka dengan tembakau karena ia bahan baku untuk membuat rokok. Aku sangat benci dengan orang yang merokok. Asap dan baunya sungguh mengganggu pernafasanku. Akibatnya udara yang masuk ke dalam rongga pernafasanku menjadi kotor dan tidak sehat.  Dan ironisnya orang yang menghisap dan mengeluarkan asap kotor itu tidak peduli sama sekali dengan orang lain apalagi dengan dirinya sendiri. Kecemburuanku yang terakhir adalah, dia mempunyai banyak candu untuk membuat orang-orang jatuh cinta. Apakah aku tidak mempunyai banyak candu sepertinya sehingga aku ditinggalkan? Agaknya alasanku terakhir ini agak mengada-ada tetapi itulah kenyataan yang aku rasakan ketika kau berkunjung kehadapannya.

Menjelang sore kau baru menginjakkan kaki di rumah. Tak kuhiraukan badanmu yang kelelahan karena aku tahu kau kelelahan karena kau habis bercinta dengannya. Bagaimana aku bisa berbaik hati padamu sedang kau tak pernah menghiraukanku, istrimu. Kau juga agaknya mengerti akan sikapku yang sinis. Itu sebabnya kau langsung menyembunyikan tubuhmu dibalik pintu kamar mandi dan kau membersihkan dirimu.

Meja makan berubah menjadi bisu malam ini. Tak ada kata yang terloncat. Hingga pada akhir suapan nasiku, kau berbicara.
"Maafkan aku. Aku tahu kau tidak suka. Tapi dia adalah hidup kita. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan orang tuaku. Dialah penghasil uang saat pekerjaanku yang lain tidak bisa mencukupi kebutuhan kita. Tolong mengerti," katamu memohon.
"Aku berjanji, akan kupenuhi semua permintaanmu setelah panen ini selesai," lanjutnya. Aku diam saja mendengarnya. Sungguh aku ingin berteriak kepadanya karena aku muak dengan kata-katanya. Ah, sudah benar-benar teracunikah kau kepadanya hingga kau sangat yakin menggantungkan hidupmu padanya? Seolah-olah dia adalah ratu uang, ratu pemberi segalanya.
"Dan anak dikandunganmu ini juga akan lahir dengan selamat tepat setelah tembakau-tembakau itu selesai dipanen dan diproses." katanya tersenyum sambil meraba perutku yang memang sudah membuncit. Calon anak pertama kami.

Pada hari-hari selanjutnya, kau selalu mengunjungi istri keduamu. Entah mengolahnya atau mengepaknya dan menjualnya ke pasar. Aku, istrimu, dengan perasaan cemburu, menantimu. Dan waktuku kuhabiskan di depan laptop kesayangan. Meneruskan pekerjaanku yang agaknya agak tersendat sampai sebuah pesan bernada teguran masuk. Katanya cepatlah, deadline tinggal satu hari lagi! Ah, kepalaku pusing melihat huruf-huruf yang beterbangan disekitarku. Kemudian aku merasakan perutku mulai bergejolak. Aku menggerang kesakitan. Dengan gemetar, aku mencoba menghubungi kau, suamiku. Setelah tersambung, dengan terbata-bata aku memanggilmu.  Aku tahu secepat kilat kau pulang ke rumah bersama beberapa tetangga. aku dipapah menuju ke mobil dan menuju rumah sakit bersalin. Kesadaranku berangsur-angsur hilang. Tapi kau terus menyemangatiku. Ya aku mendengarnya meski samar.

Setelah beberapa jam aku berjuang mempertaruhkan nyawaku, dua makhluk mungil akhirnya mengeluarkan tangisannya. Tubuhku lemas. Antara lega dan ketakutan. kau tersenyum di sampingku, mengecup keningku lalu mengucap terima kasih. Tak lama kemudian, dua suster mendekatiku dan meletakkan kedua bayiku di samping kanan dan kiri. Aku melihatnya sebuah keajaiban. Anakku kembar. Satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Lalu kau berguman,
"Bagaimana kalau kita namai anak-anak kita dengan Nico Tabacum dan Tiana Tabacum? Karena mereka lahir sebagai penutup dari panen tembakau. Mereka adalah berkah." katanya dengan semangat.
Mataku terbelalak mendengarnya. Bahkan disaat seperti ini yang kau ingat adalah dia! Sungguh, Nicotiana tabacum telah meracuni suamiku dengan liciknya.

Komentar

Postingan Populer